Judul : Hujan Bulan Juni-Sepilihan Sajak
Penulis : Sapardi Djoko Damono
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : 2013
Jumlah halaman : 120 hal
Buku satu ini saya rasa perlu untuk dibicarakan. Selain karena isinya kumpulan puisi karya penyair kebanggaan Indonesia, juga karena buku ini diperoleh dari komunitas yang saya ikuti, karena sebuah apresiasi atas puisi yang saya tulis beberapa waktu lalu. Membahas puisi maka akan terbayang rangkaian kata-kata indah.
Begitu pun dengan puisi-puisi di dalam buku ini. Karya Sapardi Djoko Damono yang kesekian ini merupakan kumpulan puisi yang tak lekang usia. Dimulai dari puisi yang ditulis pada tahun 1959 berjudul “Tangan Waktu”, hingga berakhir pada puisi berjudul “Terbangnya Burung” yang ditulis pada tahun 1994. Dari awal ketika membaca puisi pertama, saya dibuat semakin kagum kepada sebuah karya tulis. Karena memiliki bersifat Abadi, tidak akan lekang dimakan zaman.
Buku ini pertama kali terbit pada tahun 2013 dan telah dicetak berkali-kali. Untuk buku yang saya miliki ini merupakan cetakan ke tiga belas. Betapa penulis adalah sastrawan yang sangat digemari karya-karyanya.
Puisi-puisi yang sederhana, tidak terlalu penuh diksi namun ‘mengena’ saat dibaca. Ada yang mengenai kehidupan, menyangkut Sang Pencipta, interaksi antar manusia, dan tema lainnya. Jika mengingat hal menarik buku Hujan Bulan Juni-Sepilihan Sajak yaitu pembatas buku yang berbentuk daun dengan puisi “Narcissus” dibaliknya. Visualisasi daunnya tampak nyata. Pertama kali saya mendapatkan pembatas buku yang unik seperti ini. Puisi yang ditulis dibagian belakangnya tersebut tercipta pada tahun 1971.
Ada beberapa puisi yang saya sukai seperti :
Aku Ingin
aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
(1989)
Lalu,
Sajak Desember
kutanggalkan mantel serta topiku yang tua
ketika daun penanggalan gugur:
lewat tengah malam. Kemudian kuhitung
hutang-hutangku pada-Mu
mendadak terasa: betapa miskinnya diriku;
di luar hujan pun masih kudengar
dari celah-celah jendela. Ada yang terbaring
di kursi, letih sekali
masih patutkah kuhitung segala milikku
selembar celana dan selembar baju
ketika kusebut berulang nama-Mu: taram-
temaram bayang bianglala itu
(1961)
Dan ada beberapa lagi yang lain. Namun, tentu saja puisinya “Hujan Bulan Juni” menjadi karya ter-epik yang telah berkembang menjadi novel hingga diangkat ke layar lebar. Ada pula dibuatkan musikalisasi puisinya. Sungguh menyenangkan membaca puisi-puisi karya Pak Sapardi. Seperti sedang makan camilan yang dinikmati dengan santai tidak terasa sudah habis satu toples.
Komentar
Posting Komentar