Langsung ke konten utama

Hidayah Pertama

Berhubung hari ini tanggal cantik... 09-09-2019. Gak juga sih. Semua tanggal itu baik, tapi saya ingin menuliskan memoar yang terjadi di bulan September, kurang lebih 10 tahun yang lalu. Momen dimana Allah memberikanku hidayah untuk menutup aurat.

Eits... Ini bukan 10 years challenge ya. Gak bakal ada postingan foto zaman dulu sama sekarang. Malu euy. Bukan malu keliatan katrok banget pas zaman dulu. Tapi, malu karena belum baik tampilannya. Meskipun, sekarang masih terus berusaha diperbaiki.

Kalau bisa dikatakan, ini adalah Hidayah Pertama saya. Ada kenikmatan dan ketenangan saat memperolehnya. Saya memutuskan untuk berhijab. Kala itu saya berada di tahun ke-dua masa putih abu-abu. (Wah bakal ketahuan deh umur gue berapa? Ga usah dihitung-hitung yak...)
Oke lanjut yah...
Eh masihh aja usaha ngitung umur gue... Hahaha

Tepat di bulan ini, saya lupa tanggal pastinya, kalau tidak salah ingat, sekitar awal-awal minggu di bulan September. Untuk pertama kalinya, seyakin-yakinnya saya memutuskan untuk mengenakan hijab. Langsung, tanpa harus belajar dulu. Seperti (maaf) teman-teman akhwat saya kebanyakan waktu itu, ada yang mengenakan kerudung saat di sekolah saja, di luar itu mereka masih menanggalkannya. 

Saya maklum dengan proses orang yang berbeda-beda. Alhamdulillah Allah memberikan keyakinan itu pada diri saya. Bahkan, ketika menyampaikan niat saya ini saja, orangtua saya mencoba menasihati dan meminta saya berpikir lagi, apakah saya sudah yakin dengan keputusan saya ini?.

Dari TK hingga kuliah, pendidikan yang saya tempuh bukanlah yang berbasis Islam. Sekolah negeri biasa. Hanya saja ketika SD saya pernah mengikuti TPA dan Madrasah sore. Jadi, ketika itu di sekolah saya, tidak ada kewajiban setiap muridnya mengenakan hijab, kecuali saat pelajaran agama Islam atau saat ada perayaan Hari Besar Islam. 

Hal ini berbeda dengan sekolah umum (negeri) zaman sekarang, yang menganjurkan para siswinya yang beragama Islam untuk mengenakan kerudung selama di sekolah. Ini yang saya tahu, karena hal ini berdasarkan yang dialami oleh adik saya.

Saya masih ingat, saat itu bulan Ramadhan.
Sebenarnya, rencana untuk mengenakan hijab telah saya rencanakan sejak di tahun akhir di bangku SMP. Tetapi, hendak direalisasikan ketika menginjak kuliah. Bukan, ketika SMA.

Sampai pada Ramadhan tahun 2009, pada bulan September, saya menjadi panitia Pesantren Ramadhan. Bagi panitia yang perempuan harus mengenakan kerudung. Rangkaian acaranya berlangsung selama 3 hari. Itu berarti selama 3 hari berturut-turut, saya akan mengenakan kerudung. Dan kegiatan itu bukan hanya sampai siang, bahkan di hari terakhir sampai malam hari.

Selama hidup saya, itu adalah waktu terlama saya untuk mengenakan kerudung. Selama ini paling lama ketika jam pelajaran agama saja, setelah itu dengan entengnya saya melepaskan kain penutup itu dari kepala. (Astaghfirullah...)

Pada hari pertama pesantren Ramadhan, ketika sedang bersiap-siap dan saya telah mengenakan kerudung, di depan cermin memandangi diri. Dalam hati berkata, "kok nyaman ya (pakai kerudung)."

Selama 3 hari kegiatan berlangsung, tidak ada sedetikpun saya melepaskan kerudung, seperti yang biasa saya lakukan setelah jam pelajaran agama. Saya merasa nyaman. Saya merasa terlindungi. Saya merasa tenang.

Meskipun kegiatan Pesantren Ramadhan berlangsung, saya harus tetap mengikuti kegiatan belajar mengajar yang masih berjalan. Bahkan, ada beberapa kali ujian dari guru. 

Suatu ketika di kelas, saya berkata kepada teman sebangku saya, namanya Putri.

"Put, aku mau pake kerudung."

Respon dari Putri tidak saya sangka.

"Aku juga pengen pakai (kerudung), Vi."

MasyaAllah, ternyata kami berdua sama-sama ingin berhijab. Akhirnya kami sepakat, mulai besok akan berhijab. 

Niat ini saya sampaikan juga kepada teman dekat di kelas dan tentunya orangtua. Selesai kelas, saya langsung menelepon orangtua yang berada di kota yang berbeda dengan saya.

Respon Mama biasa saja. Maksudnya, tidak terlalu kaget dengan keinginan saya ini. Orangtua sama-sama merestui, hanya saja Papa bilang seperti ini, "Kalau belum yakin nanti aja, jangan pakai terus dilepas."
Tapi saya yakinkan kepada mereka, insyaAllah saya akan terus menggunakan hijab.

Setelah itu, saya langsung pergi ke pasar membeli seragam baru, juga kerudung untuk dipakai besok di sekolah. Karena seragam sekolah yang saya miliki, semua berlengan pendek, pun dengan rok yang saya punya. Hanya training olahraga saja yang panjang.

Tapi, tidak semudah itu saya langsung berhijab. Dasar saya, yang kala itu masih ababil. Padahal sudah selama 3 hari saya merasa nyaman mengenakan kerudung. Bahkan, besok sudah yakin akan mulai mengenakan hijab saat sekolah maupun di luar jam sekolah. 

Ketika pergi ke pasar, saya malah tidak mengenakan kerudung sama sekali.
Yang saya pikirkan adalah "Ah... Terakhir ini... Besok kan udah mulai pakai kerudung... Gak apalah."

Terlalu excuse pada diri. Namun ternyata, selama di pasar ada rasa tidak nyaman. Tidak tahu kenapa, rasanya ditelanjangi.

Memang sesuatu hal yang buruk jika dikerjakan, biasanya atau harusnya membuat seseorang itu merasa gusar, tidak tenang. 

Dan seharusnya pula, saya sesegera mungkin melaksanakan perintah Allah yang nyata-nyata saya yakini itu hidayah.

Kalau dirunut, sebenarnya perjalan menjemput hidayah itu bukanlah ketika saya menjadi panitia Pesantren Ramadhan. Namun, ditarik 1 tahun kebelakangnya. Saya sering beberapa kali berdiskusi tentang hijab dengan mereka, teman-teman perempuan saya yang sudah terlebih dulu mengenakan hijab. Di  kelas pun, guru agama berulang kali menyinggung tentang ayat Al-Qur'an surah Al-Ahzab : 59 dan An-Nur : 31. Bahwa perempuan Muslim diwajibkan untuk menutup auratnya. Alias berhijab.
Meskipun sudah tahu dan sering mendengar  tentang kewajiban seorang muslimah untuk berhijab, tetapi keinginan untuk melaksanakan sesegera mungkin belum juga ada.

Betapa hidayah itu memang hak prerogatif Allah. Tapi bukan berarti kita berdiam diri, menunggu hidayah itu datang. Hidayah itu haruslah dijemput. Sama halnya yang saya lakukan, bertanya, berdiskusi dengan teman-teman akhwat yang telah menutup auratnya. 

Hingga, akhirnya masuk ke lingkungan yang membentuk saya menjadi lebih dekat dengan hidayah itu. Mungkin juga diantara usaha saya itu, ada doa-doa yang terselip agar saya bisa segera memenuhi perintah wajib dari Allah SWT.

Perjalanan tentang hijab tidak sampai disitu saja. Mungkin akan saya bagikan di sesi yang lain. 

Semoga kalian yang membaca tulisan ini, khususnya yang belum menutup auratnya, agar segera diberi hidayah melaksanakan kewajiban ini. Karena tidak ada yang tahu, batas umur kita di dunia ini hingga kapan. Sesegera mungkin mari dilaksanakan wahai ukhti salihahku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngeteng dari Bekasi ke Lampung

Sekitar dua minggu yang lalu, tepatnya tanggal 22 Februari 2020, saya dan seorang teman (panggil saja "Mbak Nur") berangkat menuju Bandar Lampung dari Bekasi untuk mengikuti acara Milad Forum Lingkar Pena ke-23 (Cerita tentang Milad FLP akan segera menyusul dipostingan selanjutnya). Di sini saya ingin share cerita "ngeteng" kami untuk sampai ke Lampung. Sebelum berangkat, kami mencari informasi sebanyak-banyaknya. Meskipun, Sumatera adalah tanah kelahiran saya, sekaligus kampung halaman, seumur-umur belum pernah naik transportasi umum darat sendirian untuk pulang kampung. ( Info penting!... kampung saya di Sumatera bagian selatan hehe). Alhamdulillah, dapat teman nge-trip yang sefrekuensi. Jadilah, kami berdua melakukan perjalanan dari Bekasi ke Bandar Lampung dengan cara berganti-ganti kendaraan aka. "Ngeteng". Secara umum hanya ada tiga kendaraan untuk trip ala "ngeteng" ke Lampung, yaitu Bus Bekasi-Merak, Kapal Ferry, dan Kendaraan Bakauh

Menyoal Hadits-Hadits Populer

Judul : Menyoal Hadits-Hadits Populer (Upaya Mengenali Sunnah yang Benar, Bukan yang Terkenal) Penulis : Adi Hidayat Penerbit : Institut Quantum Akhyar Tahun terbit : 2018 Membaca buku ini semakin membuat saya kagum dengan sosok Ust.Adi Hidayat. Sangat terlihat kedalaman ilmu yang beliau miliki. Menyadarkan betapa masih dangkalnya ilmu agama yang saya ketahui. Total ada 17 hadits populer yang dibahas. Terdengar sedikit memang, tetapi jika telah membaca buku ini saya yakin Anda akan berubah pikiran. Sesuai yang tertera pada cover, sebagai upaya mengenali sunnah yang benar, bukan yang terkenal. Beliau membahas hadits-hadits tersebut cukup terperinci dengan menambah bukti-bukti ilmiah, periwayat hadits dan rangkaian sanadnya, penilaian para ulama, hingga membuat kesimpulan hampir tiap pembahasan. Hanya dua bahasan hadits yang tidak terdapat kesimpulan dan menyerahkannya kepada pembaca. Selain itu, bukan main-main karena beliau mencari referensi 1235 kitab pada pustaka ele

Review "Sabtu Bersama Bapak"

"Sabtu Bersama Bapak" menjadi novel pertama karya Aditya Mulya yang saya baca. Mungkin ada yang sudah menonton versi filmnya?  Saya sendiri baru menyelesaikan buku dan filmnya. Tentu membaca novelnya lebih diutamakan. Seperti yang diketahui, kalau film yang mengadaptasi kisah dari novel, maka jangan berekspektasi tinggi. Jika menginginkan versi lengkap alangkah baiknya membaca novelnya dahulu. Dalam buku ini menceritakan bagaimana seorang ayah tetap bisa mendampingi anak-anaknya, meski dia tidak dapat berada di sisi mereka hingga tumbuh dewasa. Setelah divonis penyakit kanker dan tidak akan hidup lama, Gunawan Garinda merencanakan untuk membuat video yang diamanahkan kepada istrinya agar diputarkan setiap Sabtu untuk anak-anak mereka, Satya dan Saka. Kehidupan kakak beradik yang berbeda. Ibu yang begitu tegar. Juga Ayah yang penuh perencanaan dan tidak akan membiarkan keluarganya kesusahan sepeninggalannya. Masing-masing tokoh punya porsi sendiri. Akan tetapi, pada versi buku