Buku "Orang-Orang Biasa" |
"Orang-Orang Biasa" atau Ordinary People, buku ke-10 dari seorang Andrea Hirata. Di dalamnya pun juga ada sepuluh sekawan yang merupakan sebagian tokoh dari novel terbarunya ini. Mungkin penulis memang sengaja, sehingga untuk karyanya kali ini dimasukkan pula unsur angka sepuluh. Mungkin.
Cerita dimulai dari dua orang polisi yang lesu, karena kota mereka sangatlah damai. Angka kriminalitas begitu minim. Lalu, dilanjutkan dengan sepuluh sekawan yang dari zaman sekolah selalu bernasib sial dan dianggap bodoh.
Mulanya, saya pikir ini hanya cerita tentang orang-orang biasa. Benar-benar orang biasa, seperti kebanyakan orang yang ada di masyarakat. Rupanya tidak begitu saudara-saudara. Hingga pada hal.79, Pak Cik (panggilan akrab penulis) membuat saya dari posisi tidur langsung duduk. Memberi peringatan bahwa kisah yang sesungguhnya barulah dimulai setelah halaman tersebut.
Sebuah ide melakukan perampokan Bank muncul untuk menyekolahkan salah seorang anak dari sepuluh sekawan. Agar ia dapat mengenyam pendidikan di Fakultas Kedokteran universitas negeri. Pernahkah terbayangkan kombinasi macam apa orang-orang tersebut untuk nantinya dapat dicanangkan sebagai "perampok"? Disitulah hal menariknya.
Begitu banyak tokoh berada di dalam novel tersebut. Namun, tidak akan membuat bingung, karena merekahlah para tokoh utamanya. Porsi yang pas. Bahkan ada beberapa karakter yang penuh kejutan.
Meskipun, ada juga bagian yang agak mengganjal, seperti penulis menyebutkan "Ibu Atikah adalah seorang Direktur Bank". Padahal diketahui bahwa lokasi Bank tersebut berada di sebuah kota kecil. Tidaklah mungkin seorang Direktur Bank, berada di kantor cabang (bisa dibilang begitu). Mungkin lebih tepatnya, sebutkan saja sebagai "Kepala Cabang" atau "Pimpinan".
Kemudian, ketika Ibu Atikah yang sudah berada di kumpulan pawai. Padahal baru saja Bank tersebut dirampok oleh sepuluh sekawan. Menurut saya, sebagai pimpinan, harusnya beliau tetap berada di TKP. Meskipun, tidak ada kerugian materi yang ditimbulkan. Karena setelah itu, polisi pasti mendatangi Bank tersebut.
Terlepas dari hal di atas, satu dari sekian yang saya suka dari "Orang-Orang Biasa" adalah tiap babnya tidak memiliki narasi yang terlalu panjang. Jujur saja, kadang agak merasa lelah jika per babnya disajikan dalam berlembar-lembar halaman kertas.
Disarankan saat membaca buku ini, janganlah sambil meminum teh, apalagi sambil memakan singkong. Kalau tak mau tersedak nantinya. Karena ada saja kejutan tulisan Pak Cik yang akan membuat terpingkal-pingkal.
Ending dari novel ini adalah yang saya harapkan. Bahkan, mungkin sebuah mimpi. Rasanya adil saja. Seharusnya demikian adanya. Namun, nyatanya dunia mungkin tak sebaik itu memihak takdir.
Saya pun sempat membaca suatu artikel, bahwa novel ini terinspirasi dari tetangga penulis yang tidak bisa melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran karena tidak ada biaya.
Inilah the power of novel, dapat membuat kisah seperti yang diinginkan. Berakhir sesuai kehendak, karena ide cerita berada di tangan sang penulis. Saya pikir tak apa mengkhayalkan sebuah dunia yang diinginkan lewat tulisan.
Akhir kata, salut pada Pak Cik.
Komentar
Posting Komentar